Penghapusan Kuota Impor, Pasar Lokal Bakal Tekor?




#CatatanRedaksi — Kebijakan baru Presiden Prabowo untuk menghapus kuota impor sontak membuat geger dunia usaha dan produsen dalam negeri. Dilansir dari Kompas.com (9/4/2025), Prabowo menginstruksikan jajaran terkait di pemerintahan untuk menghilangkan mekanisme kuota yang dapat menghambat kelancaran perdagangan. "Tapi yang jelas, Menko kemarin, Menteri Keuangan, Gubernur BI ada, Ketua DEN ada. Saya sudah kasih perintah untuk hilangkan kuota-kuota impor terutama untuk barang-barang yang menyangkut hajat hidup orang banyak," kata Prabowo.



Menurut Prabowo, kebijakan ini merupakan bagian dari upaya strategis pemerintah untuk merampingkan birokrasi serta memberikan kemudahan bagi para pelaku usaha. Selain itu, ia menekankan pentingnya menciptakan ekosistem yang mendukung penciptaan lapangan kerja serta mendorong pertumbuhan ekonomi nasional. "Siapa yang mampu, siapa yang mau impor, silakan, bebas. Tidak lagi kita tunjuk-tunjuk hanya ini yang boleh, itu tidak boleh," ucap Prabowo.



Ketua Komisi VI DPR RI, Anggia Ermarini merespon hal itu dengan menyampaikan bahwa perlu ada mitigasi yang terukur dari pemerintah karena bisa mengancam industri lokal. Senada dengan hal itu, Kepala Pusat Industri Perdagangan dan Investasi Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Andry Satrio Nugroho juga menyampaikan harus ada pengawasan ketat karena penghapusan kuota ini akan mungkin menyebabkan terjadi tsunami terhadap industri lokal.



Dosen Departemen Ekonomi Universitas Andalas (Unand) Syafruddin Karimi tak habis pikir dengan keinginan Prabowo yang berencana menyetop kuota impor. Dia menilai kebijakan tersebut bertentangan dengan semangat swasembada pangan yang selama ini digembar-gemborkan pemerintah (Tempo.co, 11/4/2025).



Terbayang ketika selama ini kran import barang kebutuhan pokok diberi kuota saja produsen dalam negeri sudah “ngap-ngapan”, apalagi dihapus kuotanya dan dibiarkan bebas. Fakta berbicara bahwa dengan adanya pasar bebas yang borderless saat ini, kualitas dan kuantitas barang dalam negeri diharapkan bisa berkompetisi dan memiliki daya saing dengan produksi luar negeri. Namun fakta berbicara, mereka cenderung kalah telak. Jadi, pemikiran awal seharusnya selain mitigasi juga perlu disiapkan kualitas barang produksi dalam negeri dengan memberi iklim kondusif dalam produksi barang dalam negeri, sehingga produsen lokal siap bersaing. Akan tetapi, selama ini sepertinya rakyat harus berusaha sendiri dalam produksinya, misalnya dalam bidang pertanian dan peternakan yang ujung-ujungnya rakyat juga harus menyerah kalah.



Masih hangat dalam ingatan kita bagaimana susu lokal yang terbuang karena perusahaan lebih memilih susu impor dari pada produsen susu lokal. Belum lagi gula, banyak pabrik gula tutup. Beras pun tak luput dari kerugian pasar ketika lahan pertanian yang berubah menjadi permukiman karena beratnya menjadi petani dengan beban biaya produksi yang tidak sedikit tetapi setelah panen tidak dihargai. Apalagi membludaknya barang impor yang membanjiri pasar dalam negeri. Niat awal untuk membuka lapangan kerja, ternyata merugikan produsen lokal.



Akan tetapi, hal ini tidak mengagetkan terjadi dalam sistem ekonomi kapitalistik sekarang ini. Karena memang peran pemerintah dalam Kapitalisme hanya sebagai fasilitator bagi individu untuk berkompetisi dalam kegiatan ekonomi, bahkan memberi jalan kepada individu/swasta untuk bisa menguasai hajat hidup dan kebutuhan vital rakyat. Maka, pihak yang bermodal besar (para kapital) yang dekat dengan kekuasaan akan memiliki survival value yang besar dan bisa eksis dalam sistem ini. Lagi-lagi rakyat sebagai pasar yang sangat besar dalam negara akan menjadi bulan-bulanan kepentingan para pemodal untuk bisa menguasai hajatnya.



Hal ini akan berimbas pada kehidupan yang makin sulit bagi rakyat. Kondisi saat ini saja PHK di mana-mana. Apalagi ketika kran import ini loss (bebas), maka makin terpuruk dan PHK akan makin lebih banyak lagi. Akhirnya, pasar lokal akan benar-benar terpukul. Belum lagi janji swasembada pangan dan energi hanya akan menjadi isapan jempol semata. Karena sudah habis setiap sisi kehidupan ini dengan produk impor yang membanjiri pasar dalam negeri. Tidak ada ruang lagi untuk swasembada karena swasembada membutuhkan political will dan biaya yang tidak sedikit. Maka, apakah itu sudah menjadi pemikiran elite negeri ini ketika mengeluarkan kebijakan yang sangat kontradiktif ini.



Hitungan kesejahteraan rakyat dalam kapitalisme secara agregat seringkali membuat negara abai memperhatikan kesejahteraan individu per individu rakyat. Hal yang berbeda secara diametral dengan sistem politik dan ekonomi Islam. Islam memperhatikan kesejahteraan rakyat individu secara individu, negara hadir dan memberi iklim kondusif dalam produksi misalnya adanya intensifikasi dan ekstensifikasi. Untuk aspek distribusi, negara langsung yang menanganinya untuk memastikan bahwa kesejahteraan rakyat individu per individu.



Peran pemerintah dalam Islam adalah sebagai pengurus dan pelayan rakyat bahkan sebagai perisai bagi rakyat untuk berlindung dan dijaga. Begitulah sistem Islam. Berharap bisa merasakan kesejahteraan rakyat dalam sistem Islam dan lepas dari kungkungan kapitalisme. Semoga tidak lama lagi itu terjadi agar penduduk mayoritas negeri ini benar-benar bisa hidup sejahtera dalam naungan Islam. Wallahu a'lam bi asshawwab.



Hanin Syahidah

Posting Komentar

0 Komentar