Skytrain Tangsel: Modernitas Tanpa Tersendat, Sekat Pemisah Rakyat?

 


Reni Setiawati

 

#Tangsel — Direktur Jenderal Perkeretaapian Kementerian Perhubungan RI, Mohamad Risal Wasal mengatakan bahwa pemerintah tengah melakukan kajian terhadap pembangunan infrastruktur transportasi umum perkeretaapian di sekitar Jabodetabek, yakni meneruskan proyek mass rapid transit atau moda raya terpadu (MRT) yang saat ini hanya sampai Lebak Bulus, serta light rail transit atau lintas raya terpadu (LRT) yang sampai Harjamukti saja. Proyek lanjutannya direncanakan skytrain atau kereta gantung.

Pemilihan jenis skytrain karena pertimbangan biaya pembangunan yang lebih murah, yakni hanya sepertiga dari LRT. Inilah yang diharapkan akan menjadi daya tarik investor dari luar negeri. Tercatat sudah ada investor yang tertarik, yakni dua dari China, Belarus, dan Jerman.

Skytrain yang nilai investasinya dibocorkan sebesar Rp238 miliar per kilometernya tersebut bakalan menjadi feeder bagi MRT Lebak Bulus menuju kawasan Bumi Serpong Damai (BSD), sedangkan jalur Harjamukti akan menuju Sentul. (cncbindonesia.com, 08/03/2025)

Dilansir dari situs dprdtangselatan.org, pembenahan sistem transportasi di Kota Tangerang Selatan (Kota Tangsel) adalah salah satu hal penting dalam mendukung mobilitas masyarakat. Perkembangan Kota Tangsel yang pesat dan sekaligus sebagai wilayah penyangga Daerah Khusus Jakarta (DKJ) memang memiliki tantangan terkait kemacetan dan kebutuhan transportasi yang efisien, nyaman, dan terjangkau seluruh lapisan masyarakat.

Proyek LRT ini memang diharapkan menjadi langkah strategis untuk solusi kemacetan yang merupakan kolaborasi antara pemerintah, masyarakat, dan teknologi. Tetapi perlu kekritisan tersendiri terkait siapakah yang mampu untuk mengakses fasilitas ini dan bagaimana pembiayaan proyeknya.

Moda transportasi sejatinya adalah kebutuhan setiap rakyat dan semua kalangan, bukan hanya dinikmati segelintir kalangan. Menyitat dari tangselkota.bps.go.id, jumlah warga Kota Tangsel yang tercatat sampai tahun 2024 sebanyak 1.399,50 juta jiwa, setiap harinya memiliki mobilitas tinggi ke arah DKJ. Sudah menjadi rahasia umum bagaimana kemacetan yang harus dilalui setiap harinya oleh warga pekerja tersebut. Sebutlah Kecamatan Ciputat dan Pamulang yang memiliki tingkat kemacetan tertinggi, karena merupakan jalan penghubung utama ke arah DKJ.

Dengan melihat fenomena kemacetan di Kota Tangsel setiap hari, tingkat kebutuhan transportasi untuk mengurai kemacetan adalah yang harusnya terjangkau oleh rakyat kebanyakan. Sementara skytrain yang akan dibangun hanya akan mampu diakses oleh kalangan menengah atas, yakni yang tinggal di kawasan BSD. Rasa ketidakadilan sudah terasa dari aspek aksesibilitas ini, yaitu moda transportasi modern anti macet tetapi terakses kalangan tertentu saja.

Rakyat kebanyakan di Kota Tangsel masih harus bergelut dengan moda transportasi di jalan raya yang sudah banyak berlubang dan memakan korban, baik jalan yang terkategori jalan nasional maupun jalan provinsi. (kabar6.com, 10/03/2025)

Terkait aspek pendanaan pembangunan skytrain, dengan kebutuhan dana yang sangat besar untuk pembangunannya, maka memang hanya skala negara yang harusnya melakukan pembangunan skytrain tersebut. Jika pendanaan proyek ini mengandalkan investor swasta, maka negara, dalam hal ini pemerintah Kota Tangsel, akan terjebak pada utang dan keberpihakan kepada korporasi (swasta).

Korporasi sebagai bentuk badan usaha tentu fokusnya adalah mencari keuntungan, bukan pada pelayanan publik tanpa balas jasa. Inilah yang menjadi penyebab pembangunan skytrain akan memilih lokasi premium, contohnya seperti BSD. Karena hanya warga kalangan menengah atas yang mampu menjangkau harga jasa skytrain ini. Padahal jika berbicara kebutuhan transportasi nyaman dan cepat untuk sampai ke kantor, tentu kebutuhan semua orang.

Walhasil, mengatasi persoalan kemacetan dengan pembangunan skytrain di Kota Tangsel hanyalah memuluskan jalan bagi kalangan menegah atas dan adanya utang untuk pembangunannya sangat berisiko mengguncang moneter, jebakan akad riba, dan mengerdilkan eksistensi sebagai wilayah negeri Kota Tangsel yang religious.  Hal ini dijabarkan secara gamblang oleh Abdurrahman Al-Maliki dalam kitabnya berjudul As-Siyasatu Al-Iqtishadiyatu Al-Mutsla di penjelasan “Pendanaan Proyek-Proyek”.

Utang adalah arketipe sistem kapitalisme yang menitikberatkan pada keuntungan materi dengan prinsip modal sekecil-kecilnya untuk mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya. Para kapitalis ini akan memberikan utang dengan jaminan tidak ada gagal bayar dan harga kontribusi masyarakat akan masuk kepada mereka sesuai dengan keinginan mereka untuk secepatnya balik modal. Pemerintah pun akan membuat regulasi yang akan condong pada keuntungan para investor atau kapitalis. Bahkan tak sedikit dari pejabat itu yang juga bermain sebagai kapitalis birokrat.

Pemerintah Kota Tangsel bisa melirik bagaimana politik ekonomi Islam terhadap pembiayaan proyek-proyek. Wajar saja, Kota Tangsel yang religius melihat Islam sebagai referensi dalam pembangunannya. Islam memberikan batasan yang sangat tegas terhadap pendanaan aktivitas dan proyek dengan utang. Semuanya akan melalui pengkajian dan perincian.

Utang hanya diperbolehkan jika dirasa perlu dilakukan, yaitu terkait dengan perkara-perkara urgen yang jika ditangguhkan akan mengakibatkan kerusakan dan kebinasaan. Sedangkan untuk perkara-perkara yang masih bisa ditangguhkan, ditunda, dan tidak dikhawatirkan terjadi kerusakan dan kebinasaan maka tidak boleh mengambil jalan utang.

Pada proyek pembangunan skytrain di Kota Tangsel jelas tidak memenuhi unsur urgensi, karena masih ada alternatif moda transportasi lainnya, maka secara Islami tidak diperkenankan mencari investor untuk memberikan utang. Inilah tantangan bagi para birokrat kota ini. 

Transportasi dalam Islam harus memenuhi kualitas terbaik, nyaman, murah bahkan gratis, dan untuk semua lapisan warga (muslim dan nonmuslim). Sebagaimana Rasulullah menuturkan dalam hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Hibban, "Ada empat perkara yang termasuk kebahagiaan, yaitu istri yang salihah, tempat tinggal yang lapang, tetangga yang baik, dan kendaraan yang nyaman."

Bahkan, tercatat dalam sejarah perjalanan panjang 13 abad pemerintahan Islam di masa Khalifah Umar bin Khathab, yang begitu khawatir Allah akan meminta pertanggungjawaban di akhirat ketika ada seekor keledai terperosok di jalanan berlubang Kota Baghdad. Hal ini begitu berhati-hatinya seorang pemimpin dalam memberikan pelayanan kepada rakyatnya, padahal pada seekor hewan, yang disandarkan pada keimanan yang kokoh.

Dalam satu cakupan topik transportasi ini memang butuh pemahaman mendalam dan terintegral, sehingga solusi dan aksinya akan tepat. Baik tepat sasaran penggunanya dan tepat dalam menganalisis, membiayai, hingga mengontrol pelaksanaannya. Semuanya bisa direfleksikan dari pelaksanaan sistem Islam yang terbukti menyejahterakan seluruh lapisan masyarakat, tanpa sekat-sekat kelas dan kasta masyarakat.[]

 


 

 

Posting Komentar

0 Komentar