Karina Fitriani Fatimah
#TelaahUtama — Momen Ramadan dan Idul Fitri seringkali dinantikan oleh para pelaku usaha karena dinilai selalu berhasil mendongkrak pertumbuhan ekonomi nasional. Namun anehnya, perputaran uang di awal tahun 2025 ini justru mengalami pelemahan cukup signifikan jika dibandingkan dengan periode yang sama di tahun-tahun sebelumnya. Fenomena melemahnya daya beli masyarakat terproyeksi dari deflasi yang terjadi bahkan di 2 (dua) bulan pertama di tahun 2025.
Pada dua bulan pertama 2025, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat deflasi sebesar 0,76% terjadi secara bulanan (month-to-month/mtm) pada Januari 2025 dan sebesar 0,48% month-to-month pada Februari 2025. Sedangkan deflasi secara tahunan (year-on-year) pada Februari 2025 sebesar 0,09%. Tingkat deflasi semacam ini baru pertama kali terjadi dalam 25 tahun terakhir yakni sejak Maret 2000. Sekalipun memang benar deflasi menunjukkan harga barang dan jasa lebih murah dan kondisi tersebut menguntungkan masyarakat sebagai konsumen, deflasi terus-menerus justru menunjukkan turunnya daya beli mayarakat yang kemudian memaksa produsen untuk menurunkan harga jual.
Ironisnya, sinyal ‘terjun bebasnya’ daya beli masyarakat masih disangkal oleh pemerintah. Angka deflasi pada Januari dan Februari 2025 disebut-sebut oleh Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartanto, sebagai sebuah keberhasilan. Airlangga beranggapan deflasi sebagai buah dari sinergi kebijakan moneter dan fiskal pemerintah agar nilai inflasi tetap terkendali. Ia bahkan mengklaim turunnya tarif dasar listrik di bulan Januari—Februari menjadi alasan terjadinya deflasi. Hal yang serupa juga disampaikan oleh Kepala BPS, Amalia Adininggar Widyasanti. Amalia berdalih turunnya tarif listrik di dua bulan pertama 2025 justru menyebabkan harga pangan cenderung stabil bahkan selama Ramadan dan Idul Fitri (lampost.co, 23/03/2025).
Memang benar bahwa diskon tarif listrik menekan harga-harga barang yang kemudian menjadi salah satu faktor turunnya jumlah konsumsi masyarakat. Namun, pada kenyataannya kondisi ini justru terus berlanjut hingga momen Idul Fitri. Berdasarkan modelling CELIOS, tambahan PDB (Produk Domestik Bruto) selama Ramadan dan Idul Fitri 2025 diprediksi turun menjadi Rp140.74 triliun atau turun sekitar 16,5% dibanding dengan tambahan PDB pada Ramadan dan Idul Fitri 2024 yang mencapai Rp168.55 triliun (infobanknews.com, 30/03/2025). Pelemahan daya beli masyarakat juga terlihat dari menurunnya porsi simpanan perorangan yakni sebesar 46,4% terhadap total DPK (Dana Pihak Ketiga).
Sikap denial (penolakan) pemerintah untuk mengakui terjadinya penurunan daya beli masyarakat pada akhirnya membuat solusi yang ditawarkan dalam mengatasi deflasi justru tidak tepat sasaran. Secara teori sistem ekonomi kapitalis menumpukan 2 (dua) strategi utama guna memulihkan deflasi, yakni kebijakan moneter dan kebijakan fiskal. Untuk kebijakan moneter, pemerintah akan fokus dalam manipulasi kebijakan Bank Sentral (Bank Indonesia). Bank Sentral biasanya akan melakukan penurunan tingkat suku bunga dan pembelian surat-surat berharga pemerintah sebagai upaya meningkatkan jumlah uang yang beredar di masyarakat.
Upaya nonpopuler dalam kebijakan moneter yakni dengan mencetak uang baru agar beredar di tengah-tengah masyarakat bisa dipastikan akan menimbulkan masalah baru. Pasalnya pencetakan uang baru dalam sistem ekonomi kapitalis tidak dibackup dengan ketersediaan emas dan perak. Pada akhirnya kondisi semacam ini membuat jumlah uang yang beredar di masyarakat melebihi jumlah produktivitas ekonomi di sektor produksi barang dan jasa riil. Hal ini berpotensi menyebabkan bubble economy dan justru bisa mengakibatkan jatuhnya nilai rupiah. Terbukti saat ini nilai tukar rupiah terhadap USD hampir menyentuh angka Rp17.000.
Di sisi lain, upaya Bank Sentral dalam menurunkan suku bunga agar masyarakat terpikat pada utang-piutang ribawi justru menghantarkan rakyat negeri ini kepada kebinasaan. Bukan hanya karena tabiat transaksi ribawi yang disebutkan oleh Allah Swt. sebagai perbuatan keji yang mampu menghancurkan umat manusia, tetapi skema moneter semacam ini kian mendorong masyarakat terhadap gaya hidup konsumtif.
Tidak bisa disangkal bahwa sistem perekonomian terbuka ala kapitalis justru ditopang oleh konsumsi. Secara dominan roda-roda penggerak ekonomi kapitalis justru berasal dari konsumsi masyarakat terutama kelas menengah. Celakanya, sejak tahun 2024 lalu sudah terlihat tren penurunan jumlah kelas menengah. Data BPS menunjukkan porsi masyarakat kelas menengah mengalami penurunan sejak pandemi Covid—19, yaitu dari 57,33 juta jiwa (21,45%) kelas menengah pada 2019 menjadi 47,85 juta jiwa (17,13%) pada 2024. Dari sini terlihat jumlah kelas menengah turun hampir 10 juta masyarakat yang mengindikasikan adanya pergeseran dari kelompok masyarakat yang sebelumnya terkategori kelas menengah ke calon kelas menengah atau bahkan rentan (miskin).
Padahal jumlah konsumsi kelas menengah dan calon kelas menengah mengambil jatah terbesar dari total konsumsi rumah tangga Indonesia. Pada tahun 2023 misalnya, total konsumsi dari kedua kelompok tersebut mencapai 82,3% dari total konsumsi rumah tangga (infobanknews.com, 10/08/2024). Oleh karena itu wajar jika penurunan jumlah kelas menengah akan berdampak langsung pada turunnya jumlah konsumsi rumah tangga nasional yang berakibat pada melambatnya roda perekonomian negeri.
Sedangkan dalam kebijakan fiskal menstabilkan deflasi, negara biasanya dilakukan dengan pengaturan dan pembaharuan pendapatan serta pengeluaran negara. Upaya-upaya yang biasanya diambil adalah dengan menurunkan nilai pajak selain daripada melakukan perampingan belanja negara. Dalam hal ini negara bukannya menurunkan nilai pajak, per Januari 2025 pemerintah justru menaikkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11% menjadi 12%. Meski pemerintah berulang kali menjamin kebutuhan pokok tetap terbebas dari beban PPN, tetap saja kenaikan angka PPN sekalipun pada barang-barang tersier akan berdampak pada kenaikan biaya hidup masyarakat.
Strategi penghematan belanja negara melalui efisiensi anggaran juga menjadi blunder. Pasalnya efisiensi anggaran justru masuk ke ranah kebutuhan pokok masyarakat yakni kesehatan dan pendidikan. Ironisnya lagi, pemangkasan anggaran malah dijadikan dana segar bagi program prioritas salah satunya Makan Bergizi Gratis (MBG) dan Daya Anagata Nusantara (Danantara).
Dari sini terlihat jelas bagaimana solusi yang ditawarkan sistem ekonomi kapitalis baik melalui kebijakan moneter maupun kebijakan fiskal tidak akan mampu mendongkrak perekonomian rakyat. Sistem ekonomi kapitalis justru menumpukan seluruh beban kepada pundak rakyat dengan pajak tinggi disertai dengan ‘dorongan’ gaya hidup konsumtif melalui skema perekonomian ribawi. Watak negara pengusung kapitalisme yang senantiasa ‘lepas tangan’ dalam mengurusi urusan rakyat kian terlihat jelas dari minimnya peran pemerintah dalam menghentikan gelombang PHK (Pemutusan Hubungan Kerja) serta menambah lapangan kerja. Alih-alih mengurangi beban rakyat, pemerintah justru mencabut berbagai macam subsidi dengan dalih efisiensi anggaran.
Padahal para pemimpin negeri ini memiliki tanggung jawab yang besar di mata Allah Swt. untuk mengurusi urusan umat. Dari Sayyidah ‘Aisyah r.a. berkata, “Saya mendengar Rasulullah berdo’a di rumahku: ‘Ya Allah! Barangsiapa yang memegang urusan (menjabat) suatu urusan umatku lalu dipersulitnya urusan mereka, maka persulit pulalah orang itu! Dan barangsiapa yan memegang urusan suatu urusan umatku lalu mereka berlaku lembut (mempermudah) kepada mereka, maka berlaku lembutlah kepada orang itu.” (HR Muslim)
Wallahu a’lam bi ash-shawab.
0 Komentar